2014-02-03

Mencecap Kebersamaan dengan Rasulullah Saw

Tags

Rindu Rasulullah

Sungguh.

Ketika menceritakan kembali tentang Rasulullah Saw, dada kaum mukmin pasti akan bergetar. Mungkin ada kerinduan di sana. Mungkin ada keinginan untuk menteladani perilakunya, yang boleh jadi sampai hari ini separuh pun belum bisa kita samai sama sekali. Atau juga, rasukan kesedihan itu tiba-tiba mengambang di pelupuk mata. Bagaimana rangkaian perjuangan dan penderitaan, berpilin-berkelindan sepanjang hidup Rasulullah Shalallahualaihi wasallam. Namun hal tersebut tak pula mengendurkan kasih sayangnya kepada kita, umatnya. Bahkan menjelang akhir hayatnya pun, yang terdengar lirih dari bibirnya, ummati-ummati..

Ingatlah, saat menjelang Rasulullah Shallahu alaihi wasallam wafat, Nabi Shallahu alaihi wasallam memanggil para sahabatnya untuk berkumpul. “Wahai kaum Muslimin siapakah di antara kalian yang pernah merasa teraniaya oleh si lemah ini, bangkitlah sekarang untuk mengambil Qhisos, jangan kau tunggu hingga kiamat menjelang, karena sekarang itu lebih baik dari pada nanti aku akan menanggung semuanya di akherat.

Semua sahabat terdiam ,lalu berdirilah Sahabat yang bernama Ukasyah Ibnu Muhsin, “Saya Ya Rosul. Saya akan menuntut hukuman Qhisas kepadamu. Dulu aku pernah bersamamu di perang Badar. Untaku dan untamu berdampingan, dan aku pun menghampirimu agar dapat mencium paha mu. Saat itu engkau melecutkan Tongkat kepada untamu agar dapat berjalan lebih cepat, namun sesungguhnya engkau memukul lambungku” ucap ‘Ukasyah dengan lantang
.
    “Baiklah Ya Ukasyah. Aku akan terima hukuman Qhisas ini”, jawab Rasululullah Shallahu alaihi wasallam, lalu Ia menyuruh bilal mengambil tongkat Nya di rumah Fatimah, anaknya. Bilal pun bergegas menuju Rumah Fatimah.
    “Apa yang akan dilakukan Ayahku dengan tongkatnya wahai Bilal”, tanya Fatimah.
    “Ada seoarang sahabat yang akan melakukan Qhisos Kepada Rasulullah Shallahu alaihi wasallam,” jawab Bilal.
    Dengan nada marah Fatimah menjawab, ”Siapa gerangan yang tega mengqhisos kepada Rasulullah“!! 
    Bilal tidak menjawab dan bergegas pergi untuk menyerahkan tongkat tersebut kepada Rasulullah Shallahu alaihi wasallam.
    Lalu Rasulullah Shallahu alaihi wasallam menyerahkan tongkat tersebut kepada Ukasyah bin muhsin, untuk segera melakukan qhisas terhadap Rasulullah Shallahu alaihi wasallam.
    Lalu tiba-tibalah berdirilah Sahabat Abu bakar dan Umar, “Hai Ukasyah biar aku saja yang menggantikan Rasulullah Shallahu alaihi wasallam untuk diqhisas. Kau pilih bagian mana saja sesukamu untuk kau pukul tongkat itu ke tubuhku,” kata Abu Bakar radiyallahu anhu yang sejak tadi menahan amarah karena tidak tega melihat Rasulullah akan di sakiti.
    “Jangan Hai Abu Bakar, Allah telah menempatkan kedudukan dan niatmu di akherat nanti. Duduklah,” jawab Rasulullah Shallahu alaihi wasallam.
    Bangkitlah Sayyidina Ali, ”Aku kemana-mana selalu bersama Rasulullah Shallahu alaihi wasallam, maka qishas lah aku. Jangan kau qhisas Rasulullah,” kata Sayyidina Ali radiyallahu anhu.
    “Duduklah hai Ali. AllAh juga telah menempatkan kedudukan dan niatmu,” jawab Rasulullah Shallahu alaihi wasallam.
    Lalu, tampillah cucu-cucu kesayangan Rasulullah Shallahu alaihi wasallam, Hasan dan Husein di tengah kerumunan Sahabat. “Kamu tahu, kami adalah cucu-cucu Rasulullah, biar kami saja yang kau qhisas. Itu sama saja dengan kau mengqhisas Rasulullah Shallahu alaihi wasallam ” kata Hasan-Husein.
    “Duduklah kalian Wahai dua bola mataku.” kata Rasulullah Shallahu alaihi wasallam.
    Suasana begitu tegang dan mengharukan, karena semua sahabat tidak tega manusia mulia yang mereka cintai akan dicambuk dengan tongkat oleh Ukasyah.
    Lalu Ukasyah meminta kepada Rasulullah Shallahu alaihi wasallam untuk membuka bajunya. “Wahai Rasulullah Shallahu alaihi wasallam sewaktu kau memukulku dengan tongkat, waktu itu aku sedang tidak pakai baju. Jadi aku minta kepada engkau untuk melepaskan bajumu,” kata Ukasyah.
    Lalu Rasulullah Shallahu alaihi wasallam membuka bajunya terlihatlah tubuh Rasulullah Shallahu alaihi wasallam yang putih bersih memancarkan cahaya, tiba-tiba Ukasyah memeluk tubuh putih tersebut sambil menciumnya dengan linangan air mata ukasyah yang menempel di tubuh Rasulullah Shallahu alaihi wasallam sambil berkata, “Ya Rasulullah Shallahu alaihi wasallam siapa yang tega memukulmu. Aku hanya ingin memeluk dan mencium tubuh sucimu agar tubuhku bisa terlindungi dari jilatan api neraka.”
    Para sahabat yang sejak tadi manangis meyaksikan peristiwa tersebut berkumandang takbir.
    Rasulullah pun berkata, “Wahai para sahabatku kalau kau ingin melihat penghuni surga dialah orangnya.“ kata Rasulullah Shallahu alaihi wasallam sambil memeluk Ukasyah.
    Ukasyah langsung tersungkur dan bersujud memuji Allah dan para sahabat yang lain berebut mencium Ukasyah. Pekikan takbir kembali menggema. “Wahai Ukasyah berbahagialah engkau telah dijamin Nabi sedemikian pasti, bergembiralah engkau, karena engkau menjadi salah satu yang menemani Rasul Allah di surga,” kata para sahabat.
* **
    Siapa yang tidak sedih ketika kita mengenang kembali peristiwa tersebut. Bagaimana mungkin, para sahabat yang jelas-jelas hidup dalam satu masa dengan beliau, masih mengharap dapat terus dekat dengannya bahkan mencuri-curi kesempatan untuk memeluk dan menciumnya, saking cinta dan kagumnya mereka.
    Sedangkan kita yang terpisah jauh selama berabad-abad, hanya mampu membayangkan sosok beliau dan merindukan bisa berjumpa di hari akhir kelak. Sungguh, tanpa tauladan yang baik dari beliau, takkan mungkin para sahabat bisa ter-tarbiyah seperti itu. Tidaklah mengherankan jika kemudian Allah azza wa jalla memberikan gelar uswatun hasanah kepada Rasulullah Shallahu alaihi wasallam.
    “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS Al-Ahzab: 21)
    Boleh jadi kita terpisah oleh waktu, namun dalam sebuah riwayat disebutkan, dalam suatu majelis pertemuan Rasulullah Shallahu alaihi wasallam bersama para sahabatnya. Suasana tiba-tiba hening.
    “Apakah maksudmu berkata demikian, wahai Rasulullah? Bukankah kami ini saudara-saudaramu?” Sayyidina Abu Bakar radiyallahu anhu akhirnya bertanya memecah kesunyian.
    “Tidak, wahai Abu Bakar. Kamu semua adalah sahabat-sahabatku tetapi bukan saudara-saudaraku (ikhwan),” suara Rasulullah bernada rendah.
    “Kami juga ikhwanmu, wahai Rasulullah,” kata seorang sahabat yang lain pula.
    Rasulullah menggeleng-gelangkan kepalanya perlahan-lahan sambil tersenyum. Kemudian Baginda bersuara,
    “Saudaraku ialah mereka yang belum pernah melihatku tetapi mereka beriman denganku sebagai Rasul Allah dan mereka sangat mencintaiku. Malahan kecintaan mereka kepadaku melebihi cinta mereka kepada anak-anak dan orang tua mereka.”
    Atau dalam kesempatan yang lain, Rasulullah Shallahu alaihi wasallam berujar kepada para sahabatnya.
    “Siapakah yang paling ajaib imannya?” tanya Rasulullah.
    “Malaikat,” jawab sahabat.
    “Bagaimana para malaikat tidak beriman kepada Allah sedangkan mereka senantiasa dekat dengan Allah,” jelas Rasulullah.
    Para sahabat terdiam seketika. Kemudian mereka berkata lagi, “Para nabi.”
    “Bagaimana para nabi tidak beriman, sedangkan wahyu diturunkan kepada mereka.”
    “Mungkin kami,” selah seorang sahabat.
    “Bagaimana kamu tidak beriman sedangkan aku berada di tengah-tengah kalian,” pintas Rasulullah menyangkal hujjah sahabatnya itu.
    “Kalau begitu, hanya Allah dan Rasul-Nya saja yang lebih mengetahui,” jawab seorang sahabat lagi, mengakui kelemahan mereka.
    “Kalau kamu ingin tahu siapa mereka, mereka ialah umatku yang hidup selepasku. Mereka membaca Al Quran dan beriman dengan semua isinya. Berbahagialah orang yang dapat berjumpa dan beriman denganku. Dan tujuh kali lebih berbahagia orang yang beriman denganku tetapi tidak pernah berjumpa denganku,” jelas Rasulullah.
    “Aku sungguh rindu hendak bertemu dengan mereka,” ucap Rasulullah lagi setelah seketika membisu. Ada berbaur kesayuan pada ucapannya itu.
* * *
    Begitulah. Bukan jarak dan masa yang menjadi ukuran. Bukan bertemu wajah itu syarat untuk membuahkan cinta yang suci. Pengorbanan dan kesungguhan untuk mendambakan diri menjadi kekasih kepada kekasih-Nya itu, diukur pada hati dan terbuktikan dengan kesungguhan beramal dengan sunnahnya.
    Dan insya Allah umat akhir zaman itu adalah kita. Pada kita yang bersungguh-sungguh mau menjadi kekasih kepada kekasih Allah itu, wajarlah bagi kita untuk mengikis cinta-cinta yang lain. Cinta yang dapat merenggangkan hubungan hati kita dengan Baginda Rasulullah saw.    

Makasih ya udah mampir ke blog Pakde. Besok-besok dateng lagi..
Monggo diisi feedback komennya di bawah ini
EmoticonEmoticon